Saatnya Teater Alam Diberi Tempat

SYANAGRA

Syahnagra Ismail

 

Teater Alam ketika itu masih di Sawojajar. Rumah yang masih bersuasana Jawa yang kuat. Temboknya tebal seperti rumah para bangsawan zaman dulu dan ada pintu gerbangnya. Kami biasa ngumpul di sudut wetan, ada pintu gerbang kecil dengan tangga dan emperan. Di situlah kami sering bicara ngalor-ngidul sambil menunggu teman lain. Di teater tidak pernah bicara tentang waktu kapan mulai dan kapan menyudahinya.

Biasanya sesudah gelap semua masuk ke dalam rumah, bersila lalu memejamkan mata konsentrasi, mulai dengan musik dari karya besar seperti Bethoven-Mozart dan musik klasik lainnya. Sepi desah napas pun tak kedengaran. Sesekali Azwar mengingatkan tentang alam, tentang hiruk-pikuk kota dan tentang persaudaraan untuk waktu yang lama. Dengan napas yang masih tertata kami berjalan melewati halaman kamar mandi pagar dan pintu kecil. Di dalam situlah kami berlatih setiap hari. Di bawah pohon sawo beratap langit dan itu bertahan lama. Kadang beberapa bulan untuk satu naskah. Latihan vokal, gerak, blocking dan penyutradaraan.

Di sinilah perlu disiplin dan kerja sama. Sebenarnya inti latihan adalah membangun kesetiaan, itulah yang saya rasakan. Kesetiaan adalah pelajaran penting dalam hidup yang membuat saya ingin selalu berada di lingkungan teater. Teater adalah sekolah hidup yang menyentuh jiwa dan hati nurani.

Buat saya masuk teater adalah perjalanan memperkaya diri. Pada dasarnya saya adalah pelukis. Saya sadar pelajaran hidup adalah memperkaya diri dengan pengalaman sebanyak-banyaknya dari manapun asalnya.

Tahun 2012 saya melihat “Asmat” Papua, di situ sayat melihat teater dengan kampung besar setting yang luar biasa indah. Jembatan, jalan kayu, lumpur abu-abu, perahu, penjual sayuran, rumah, suara-suara percakapan. Burung menukik dengan suara melengking ketika sore, inilah teater besar.

Secara kebetulan saya berjumpa Noor WA di pinggir jalan. Dia adalah teman di Taman Siswa, cerita tentang teater dan saya tertarik. Pandangan mengenai gerak lalu pernapasan, membuat daya tarik tertentu. Noor WA seorang aktor bagus. Beberapa kali dia mendapat penghargaan sebagai aktor. Totalitasnya sangat terasa ketika di atas panggung.

Atas dasar itulah saya bergabung dengan Teater Alam dan tertarik mengamati pandangan seniman seperti Rendra, Umar Kayam, Putu Wijaya, Darmanto Yatman, dll. Dunia teater adalah dunia luas dunia yang bisa dipahami dengan bebas.

Menurut saya sudah saatnya teater dikelola dengan manajemen modern yang melibatkan banyak orang dan pemerintah. Sudah saatnya Teater Alam punya tempat yang difasilitasi pemerintah, dan setiap gerak Teater Alam ditonton masyarakat untuk memperkaya batin dan juga menjadi daya tarik Kota Yogya sebagai Kota Kebudayaan.

Saya merasakan bagaimana bermain teater dan menonton teater. Komposisi, blocking perpindahan sambil bergerak dan dialog. Dialog itu seperti gema yang menyihir dan merasakan lebih dalam apa itu teater, tentu latihan pernapasan agar dialog menjadi kuat dan berbobot. Ada getar, energi memukau.

Saya pernah mendapat peran di Karna Lembu Peteng karya D. Djajakusuma penulis naskah drama dan sutradara penting Indonesia. Peran saya menjadi Dursasana. Saya masih ingat sepenggal dialog, “Kalau begini jadinya, ingin rasanya, aku memukul orang tanpa dosa”. Saya suka peran ini, gerak juga dialognya sedikit tapi tajam, terasa gagah dan mantap. Dursasana tokoh yang jujur dan setia pada keluarga. Apa pun perintah, dilaksanakan. Sendiko dawuh-kadang kejam tak masuk akal apa yang dia kerjakan.

Ketika itu Meritz Hindra sebagai asisten sutradara perannya cukup besar. Instruksi dari kerumunan penonton di luar pintu gerbang punya pengaruh. Dia kadang merespon celotehan penonton yang berjubel di luar pagar. Dari situlah blocking dan dialog yang dikritik penonton dia perbaiki.

Meritz memahami teknik teater dengan benar, sehingga para pemain bisa bermain asyik dan memahami perintahnya. Jam terbangnya memadai. Kelemahan Teater Alam waktu itu tidak punya perpustakaan yang baik sehingga wawasan seni, kebudayaan dan sejarah terbatas. Untung sebagai Kota Pelajar dan Kota Kebudayaan, Yogya dikelilingi perpustakaan. Inilah modal untuk maju karena bacaan mempunyai andil besar memengaruhi karakter dan sikap. Tidak dibuat-buat tapi muncul ketika berakting, menjadi energi tak habis membangun spirit dan jiwa.

Dari teater saya mengenal banyak tokoh dan membuka pandangan hidup, kebesaran, keberagaman dan membangun jaringan. Ibarat pengelana saya berjalan dari kota ke kota, negara ke negara dan sempat melihat teater broadway di New York.

Dunia saya adalah dunia kreatif, dunia yang selalu mencari. Indonesia adalah negara besar dan luas dari Sabang sampai Merauke perlu didalami secara kreatif. Dari Sawojajar sarang Teater Alam melakukan perjalanan panjang. Teater bukan lagi lingkup kecil, tapi rimba besar. Masuki untuk memahami isinya. Teater jadi kebebasan jiwa tidak terbatas panggung. Teater menjadi kepribadian.

Sampai sekarang saya melukis terus. Dari muda saya menggilai seni lukis. Bapak bilang pada saya “Syahnagra ada tidak ada duniamu adalah lukisan,” kata ini kupegang teguh. Saya sangat mencintai warna. Perbedaan bagiku adalah kekayaan-kanvas, padang terbuka yang menantang untuk diwarnai. ***

 

*) Syahnagra Ismail, lahir di Teluk Betung 18 Agustus 1953. Anggota Teater Alam tahun 70-an. Ia aktif membina, mengembangkan dan menggalakkan seni rupa khususnya di kota besar seperti Jakarta. Pengembangan tersebut ia lakukan dengan cara memperkenalkan dunia seni rupa melalui Rumah Seni. Di Rumah Seni itulah sejumlah lukisan karya para pelukis dipamerkan, atau dipajang. Ia beroleh penghargaan dari dalam dan luar negeri.

(Sumber: Buku Trilogi Teater Alam – 2018)

Tinggalkan komentar